Sabtu, 22 Januari 2011

DERITA SAHABAT




Aku memiliki seorang sahabat, Mila namanya. Sejak SD kami selalu bersama. Makan, minum, dan berbagi suka maupun duka. Di mana ada Mila, di situ ada Aku. Kami bersahabat layaknya bersaudara kandung.
Namun, ketika kami duduk di bangku kelas satu SMA, orang tua Mila berniat menyekolahkan Mila ke Jakarta. Mau tidak mau, Mila harus menuruti kehendak orang tuanya. Dengan berat hati, akhirnya Aku melepas kepergian Mila.
Di lubuk hatiku yang terdalam, jujur Aku masih bingung, mengapa dengan tiba-tiba Mila harus disekolahkan di Jakarta. Padahal setahuku, Mila bercita-cita menjadi putri NTT, dan orang tuanya pun mengetahui hal itu. Mila pun pernah berkata, bahwa ia tak mau menuntut ilmu di luar daerah. Entah hal apa yang mendorong orang tua Mila ‘tuk menyekolahkan anaknya di Jakarta, dan Aku juga heran, mengapa Mila dengan mudah menuruti keinginan orang tuanya.
Kini Aku tinggal sendiri, tanpa kehadiran seorang sahabat. Poros waktu berputar begitu cepat. Siang berganti malam, dan malam berganti siang, hingga genaplah setahun kepergian Mila ke Jakarta.
Sambil menghabiskan waktu istirahat di kelas, bayang-bayang Mila selalu menghantuiku.
“Hai Sya, kok bengong gitu sih?” ujar Salsa ketika mendapatiku tengah termenung di kelas.
“E..e…nggak kok. Lho, nggak ke kantin?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“Bosan. Oh iya, gimana keadaan Mila? Dia udah sembuh kan?” Tanya Salsa.
“Sembuh? Apanya yang sembuh?” tanyaku heran.
“Ya Milalah. Emangnya kamu nggak tahu ya? Masa, sahabat sendiri sakit kamu nggak tahu Sya?” jawab Salsa meyakinkan.
“Emangnya Mila sakit apa? Sure!! Aku sama sekali nggak tahu,” kataku memaksa.
“Kanker otak!!” seru Salsa sembari berlalu meninggalkanku. “Aku mau ke kantin, lapaaaaaaaaaaaaaaaar!!”
“Apa?? Mila kena penyakit kanker otak? Mustahil! Mengapa Ia tega menyembunyikan hal ini dariku? Akh, tapi nggak mungkin. Salsa pasti bohong. Ya, dia kan sejak SMP memang suka bohong,” ucapku setengah berbisik.
Sampai pada suatu hari, Aku mendengar kabar dari Mama yang kebetulan adalah teman dari mamanya Mila, bahwa Mila akan segera kembali ke Kupang. Mendengar hal ini, hatiku menari riang. Aku akan berjumpa lagi dengan sahabatku.
Setelah mendapat kabar baik itu dari Mama, hari-hariku mulai berubah. Wajah murungku tak lagi terlihat, setiap orang yang Ku temui selalu Ku sapa dengan senyuman. Begitulah seterusnya, hingga pada suatu siang, ketika Aku tiba di rumah...
“Sya, Mama punya kabar gembira. Tadi pagi Mila sudah kembali ke Kupang. Dan sekarang Ia ada di rumahnya.” jelas mama.
“Mila kembali? Thanks Ma,” ujarku. Kini mataku bersinar bahagia. Bergegas aku pergi ke rumah Mila. Jarak rumah Mila dengan rumahku, tidaklah jauh. Jadi bisa ditempuh dengan berjalan kaki.
“Mila!!” teriakku ketika tiba di rumah Mila.
“Marsya?” kata Mila membalas teriakanku. Ia pun berjalan mendekatiku dan kemudian Ia merangkulku. “Akhirnya kita bisa berkumpul”
“Ya”
“Oh iya. Aku punya sesuatu untukmu,” ujar Mila seraya mengajakku ke kamarnya.
“Apa sih?” tanyaku penasaran.
“Nih!” seru Mila.
Ia memberiku sebuah bingkisan. Ukurannya tidak terlalu besar, tapi juga tidak terlalu kecil.
“Woow! Boneka yang cantik. Ada namanya lagi. Tapi kok ada dua?” tanyaku lagi.
“Karena yang satunya lagi, yang bertuliskan Mila, itu punyaku” jawabnya spontan.
Tiba-tiba terlintas di pikiranku tentang kabar yang Ku dengar dari Salsa tadi siang. Aku lalu menanyakan hal tersebut pada Mila.
“Tidak!” jawab Mila.
Sungguh jawaban yang sangat tidak memuaskan. Aku ingin menginterogasinya lebih jauh, namun aku takut. Maka dari itu, Aku memutuskan untuk tidak membahas masalah ini lagi.

* * *
Sekarang aku tengah duduk di kelas 2 SMA, di salah satu sekolah negeri di kota ini. Mila pun akan melanjutkan sekolah di SMA yang sama denganku.
Anehya, pada hari itu, ketika kami sedang menerima pelajaran di kelas, tiba-tiba Mila memegang kepalanya, tubuhnya terkulai lemas dan akhirnya Ia jatuh pingsan. Aku yang berada di sampingnya terheran-heran. Dengan dibantu beberapa temanku, Mila kemudian dibopong ke ruang UKS. Namun sayang, ketika sadar, Mila kembali mengalami sakit di kepala yang tidak seperti sakit kepala biasa. Akhirnya ia dilarikan ke rumah sakit. Aku ingin ikut, tapi beberapa guru melarangku.
Keesokan harinya Aku kaget melihat Mila yang telah duduk di bangkunya. Bagaimana mungkin Mila yang kemarin sangat kesakitan bisa segar bugar seperti sekarang? Karena saking penasaran, aku berjalan menghampiri Mila dan menanyakan keadaannya yang kemarin. Tapi Mila mengatakan ia cuma kecapaian. Yah, apa boleh dikata, itulah jawaban yang dikemukakannya.
Waktu terus berjalan. Satu tragedi terjadi lagi. Sore itu, ketika Aku dan Mila sedang belajar bersama di rumah Mila, tiba-tiba Mila mengerang kesakitan sambil memegang kepalanya. Melihat Mila yang seperti ini, Aku langsung berteriak memanggil Mama Mila. Kemudian Mila dibawa ke kamarnya. Beberapa menit kemudian, datanglah seorang pria mengenakan jas putih sambil menenteng sebuah tas hitam. Rupanya ia adalah dokter. Setelah si dokter memeriksa Mila, ia mengatakan bahwa kanker otak yang diderita Mila nampaknya semakin parah. Aku yang mendengar ucapan dokter langsung kaget. Ternyata benar, Mila menderita kanker otak...!!! Setelah sang dokter pergi, Aku mencoba menanyakan kondisi Mila pada Mamanya. Sebenarnya Aku takut menanyakan hal ini, Aku takut dibilang sok tahu! Namun Aku berusaha melawan rasa takut itu. Ternyata dugaanku meleset. Mama Mila justru menyambut baik pertanyaanku.
Beliau mengatakan bahwa tujuan Mila dibawa ke Jakarta semata-mata hanya untuk mengobati penyakitnya. Mila sudah menderita kanker otak sejak ia berusia lima tahun, namun pada waktu itu penyakit Mila belum nampak, dan ketika Mila beranjak ke usia lima belas tahun, barulah penyakitnya tampak. Di Jakarta Mila rutin mengikuti pemeriksaan. Sayangnya, lama kelamaan ia mulai bosan. Ia pasrah. Menurut Mila, hidup dan mati ada di tangan Sang Khalik. Akhirnya Mila memutuskan untuk kembali ke Kupang. Ia ingin berjumpa denganku.
Mendengar penuturan dari mama Mila, hatiku meringis sedih. Kini Aku tahu, mengapa wajah Mila selalu kelihatan pucat, dan ia sering mengerang kesakitan pada kepalanya.
Tanpa kami sadari, rupanya sejak tadi Mila mendengar pembicaraan kami tentang dirinya.
“Jadi kamu sudah tahu semuanya?” tanya Mila padaku.
“Iya!! Mengapa kamu menyembunyikan hal ini dariku???”
“Aku takut jika kamu tahu penyakitku maka kamu nggak mau lagi bersahabat dengan orang penyakitan sepertiku!” jawab Mila.
Aku membantah jawaban Mila. Aku mengatakan, bahwa seburuk apapun kondisinya, dan apapun penyakit yang dideritanya, Aku akan selalu menjadi sahabat sejatinya. Aku pun langsung merangkul Mila, dan Ia pun berjanji akan selalu terbuka padaku.
Hari demi hari Ku jalani bersama Mila, namun kondisi Mila pun semakin memburuk. Sejak setahun terakhir ini, Mila sering keluar masuk rumah sakit. Dengan setia Aku selalu menemaninya dan mendengarkan setiap keluhannya.

***


Hingga tiba pada suatu hari, Mila hanya terdiam. Ia terbaring lemah di atas kasur putih di dalam sebuah ruangan putih. Pada dindingnya tak ada hiasan sama sekali, kecuali jam dinding yang juga berwarna putih.
Kini Aku hanya dapat memandang Mila dari balik kaca. Ruang yang ditempatinya telah disteril, tak sembarang orang boleh masuk. Aku yang melihatnya cuma bisa meneteskan air mata. Tak ada yang dapat Ku perbuat selain berdoa demi kesembuhan sahabatku. Mila harus dirawat di rumah sakit untuk memperpanjang usianya. Mila pun harus berhenti sekolah, dan itu berarti harapannya untuk menjadi putri NTT harus pupus pula.
Sedih!!! Cuma kata inilah yang acapkali tersirat di wajahku melihat kondisi Mila yang seperti ini. Dia tidak seperti dulu lagi. Dia bukan Mila yang periang, dia bukan Mila yang selalu punya inspirasi, dan dia juga bukan Mila yang pantang menyerah. Mila yang sekarang bagaikan kertas putih tak bernoda. Kanker otak yang dideritanya telah mencapai stadium akhir, dan menurut dokter, umurnya tak ‘kan lama lagi. Namun, dokter bukanlah Tuhan!!! Ia tak dapat membatasi umur seseorang. Prinsip inilah yang membuatku yakin bahwa Mila akan sembuh.
Sayangnya, prinsip hanyalah prinsip, bukan kekuatan. Pagi itu, ketika Aku hendak mengambil segelas air, tiba-tiba gelas yang Ku pegang jatuh. “Apa gerangan yang terjadi?” tanyaku dalam hati. Sekilas terlintas di pikiranku tentang Mila. Kemudian Aku segera menghubungi perawat yang bertugas menjaga Mila. Syukurlah, kata si perawat, Mila baik-baik saja.
Aku pun berangkat ke sekolah. Aneh, ketika pelajaran berlangsung, cuma Mila yang ada di pikiranku. Ragaku memang ada kelas, namun pikiranku melayang. Aku sempat ditegur oleh guru, bahkan Aku sampai disuruh ke kamar mandi untuk membasuh wajahku.
Sepulang sekolah Aku menerima telepon dari Mamanya Mila, yang memintaku untuk pergi ke rumah sakit. Sesampaiku di rumah sakit, Aku sangat heran melihat pintu ruangan di mana Mila dirawat telah terbuka lebar, ada dua orang perawat yang masuk ke dalamnya.
“Jangan-jangan Mila sudah sembuh,” pikirku.
Ternyata dugaanku meleset. Ketika ruangan itu Ku masuki, Aku tak melihat ada Mila di sana. Yang Ku dapati hanyalah seseorang yang tak bernyawa lagi telah terbaring di atas kasur putih. Seluruh tubuh orang tersebut terbalut kain putih. Aku bertanya tentang keberadaan Mila pada orang-orang yang ada di sekelilingku, namun mereka tak menggubris pertanyaanku sama sekali. Perlahan Aku berjalan mendekati jenazah itu. Gemetar rasa tangan ini ‘tuk membuka kain putih itu. Tapi akhirnya Aku melihat sendiri bahwa jenazah tersebut, tak lain dan tak bukan adalah sahabatku sendiri, Mila! Ini mustahil...!!!
“Miiiiiilllaaaaaaa..................” teriakku menghapus kesunyian dalam ruangan itu.
Setelah kesedihanku mulai mereda, ayah Mila memberiku sebuah bingkisan kecil.
“Marsya, ini ada titipan dari Mila. Kamu boleh membukanya setelah acara pemakaman Mila selesai.
Aku pun mengangguk, tanda setuju.
Selanjutnya, jenazah Mila dibawa ke kediamannya. Setelah jenazah dimandikan, jenazah Mila lalu didoakan, dan kini jenazah sahabatku, Mila, telah siap untuk dimakamkan.
Ketika butir-butir tanah menutupi jenazah Mila, derai-derai air mata mulai bercucuran. Aku berusaha menenangkan mama Mila, walaupun sebenarnya dalam hati Aku sangat terpukul. Namun dengan tegar Aku berusaha menghadapi kenyataan ini. Sorak ceria tak lagi terngiang di telingaku. Kata-kata nasihat tak lagi memperingatiku.
“Selamat jalan sahabat, selamat jalan Mila!!”
Setibaku di rumah, Aku langsung membuka bingkisan yang diberikan Mila lewat ayahnya. Sedih rasanya ‘tuk membuka bingkisan itu. Tangisku tak kuasa Ku tahan. Di usianya yang masih belia ini, ia harus kehilangan segalanya. Harapan dan masa depannya telah sirna. Ketika bungkusan itu Ku buka, di dalamnya terdapat sepucuk surat dan boneka kelinci bertuliskan nama “Mila”. Aku pun membaca surat tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar