Minggu, 23 Januari 2011

Sayang Dalam Hati

Mentari telah terbit dari ufuk timur menggantikan sang rembulan yang sejak tadi malam menghangatkan dunia. Burung-burung berkicau riang menyambut datangnya pagi. Dedaunan di luar sana pun turut menari-nari meramaikan suasana pagi. Malam bisa berganti pagi, namun Aku yang malang tak ‘kan pernah merasakan arti kebahagiaan yang sesungguhnya. Aku adalah seorang anak yatim yang tinggal bersama Ibuku di sebuah hunian sederhana, yang mungkin juga tak layak di sebut hunian. GUBUK..!!! Mungkin nama inilah yang cocok untuk tempat yang tengah Aku diami saat ini. Namun tak apa. Semua ini merupakan anugerah Sang Khalik yang harus Ku syukuri.
Pagi ini Aku bangun agak telat, yaah…mungkin karena semalam Aku masih membantu Ibu membuat kue untuk jualan hari ini. Namun tak apa, toh ini hari minggu. Beranjak dari tempat tidur, Ku langkahkan kaki ini menuju jendela. Di samping jendela kamarku terpampang foto ayah. Ku pandangi foto Ayah dalam-dalam. Tanpa Ku sadari, air mata mengucur membasahi pipiku, dan membawaku ke peristiwa pahit setahun silam…………..
Waktu itu, hilal syawal sudah diambang, dan sebentar lagi beduk takbiran akan bergema. Tapi sayang, di hari nan bahagia itu, Aku harus kehilangan seseorang yang sangat Aku sayangi, Ayahku! Waktu itu, tepat jam dua siang siang, Ayah berpamitan pada kami, katanya hendak pergi ke luar kota untuk suatu urusan. Aku tak tahu apa yang akan Ayah lakukan di sana. Setahuku, Ayah hanyalah seorang penjahit keliling. Penghasilannya tak seberapa. Tapi Aku sangat bangga pada Ayah. Walaupun penghasilan Ayah hanya cukup untuk makan kami sehari-hari, tapi Ayah mampu menyekolahkanku hingga ke jenjang SMA ini. Setelah berpamitan, Ayah pun berangkat. Ayah tak mengatakan dengan jelas, kota mana yang akan beliau kunjungi.
Sebenarnya, Aku sangat merasa dikucilkan, karena sejak Ayah diPHK dari pekerjaannya enam tahun yang lalu, sejak itu pula, setiap lebaran tiba, Aku tak pernah dibelikan baju baru. Baju yang Ku gunakan hanya itu-itu saja. Tapi kata Ibu, baju baru tidaklah penting, yang paling utama adalah jika kita dapat menyambut hari yang fitrah dengan hati yang suci.
Pada hari pertama keberangkatan Ayah, Aku masih merasa biasa-biasa saja. Tapi entah mengapa, pada hari ketiga semenjak Ayah pergi, tiba-tiba Aku kehilangan semangat. Aku sendiri bingung dengan diriku. Selang beberapa jam kemudian, datanglah tiga orang pria bertubuh tegap berseragam polisi mengetuk pintu rumahku. Melihat kedatangan ketiga polisi tersebut, para tetangga di sekitar rumahku langsung memenuhi pekarangan depan rumahku yang luasnya tak seberapa. Sepertinya mereka penasaran! Jangankan mereka, tentunya Aku sebagai pemilik rumah akan lebih penasaran. Salah satu polisi itu mengucapkan salam lalu melanjutkannya dengan sebuah kata , yakni ‘maaf’. Sontak Aku kaget. Memangnya apa yang telah diperbuat ketiga polisi itu terhadap keluargaku sehingga mereka harus meminta maaf?? Polisi itu terus berujar, hingga akhirnya ia mengatakan bahwa Bapak Suharso, seorang penjahit keliling telah meninggal dunia setelah ditabrak oleh sebuah truk bernomor polisi 873 JL ketika hendak menyebrang.
Innalillahi wa innalillahi rajiun! Itu Ayahku. Ayah tercintaku! Semua itu di luar dugaanku. Perlahan air mata menetes membasahi kedua pipiku. Tubuhku lemah tak berdaya, begitupun dengan Ibu. Bahkan Ibu sampai jatuh pingsan. Ayahku adalah sosok pria yang sangat berarti bagiku dan Ibu. Ayah adalah tiang harapan kami. Sepanjang hari berkeliling kota sambil mengayuh sepeda tanpa lelah. Ia tak peduli akan teriknya mentari yang terus menguras keringatnya. Semangat dalam dirinya sangat besar ‘tuk mengais rejeki demi menyambung nafas keluarga kami.
Aku masih ingat ketika Ayah pulang membawakan sebungkus nasi goreng dan es cendol untukku. Mungkin bagi orang lain, nasi goreng dan es cendol bukanlah hidangan yang istimewa, karena bisa diperoleh dengan mudah. Namun bagiku, nasi goreng dan es cendol itu sangatlah berarti, karena dibeli dengan uang hasil keringat Ayah seharian. Aku juga ingat, setiap malam Aku dan Ayah selalu mengaji bersama layaknya seorang Qori dan Qoriah. Sayang! Kini semua itu tinggal kenangan. Sosok Ayah yang pekerja keras dan penuh kasih sayang tak ‘kan pernah Ku temui lagi. Dan yang selalu Ku sesali hingga kini, mengapa semua itu terjadi begitu cepat? Pertanyaan itu sering Ku lontarkan pada Ibu. Ibu pun selalu menjawab, bahwa itu adalah kehendak yang Maha Kuasa. Yah, Ibu benar! Dan mau tidak mau, Aku harus bisa menerima kenyataan pahit ini, sekalipun terasa sangat berat.
Jujur, Aku iri dengan teman-temanku. Mereka sangat beruntung karena masih dapat melihat sosok pria yang disebut-sebut sebagai ’Ayah’ dan mendapatkan kasih sayangnya. Berbeda dengan Aku yang hanya dapat mengenang kasih sayang Ayah lewat fotonya yang tergantung di dinding kamar kecilku.
“Huuuuuuhffft….|!!!!” keluhku sambil menyeka tetesan air mata di kedua pipiku.
Sekalipun Ayah cuma bisa Ku kenang lewat foto, namun sosok Ayah tak kan pernah lekang oleh ruang dan waktu. Ayah tak ‘kan mungkin hilang dari hati dan ingatanku ‘tuk selamanya………….!!!
“AKU SAYANG AYAH…!!!!” ujarku sebelum meninggalkan kamar dan menemui Ibu yang tengah sibuk di dapur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar