Sabtu, 22 Januari 2011

Mengapa Harus Aku ??

“Allahuakbar... Allahuakbar... Allahuakbar... Allahuakbar...” terdengar suara adzan berkumandang.
“Ra, udah adzan tuh” tegur Mama padaku.
“Iya Ma!” Aku pun menghentikan semua kegiatanku. Ku langkahkan kaki ini menuju kamar mandi. Namun tiba-tiba langkahku terasa amat berat. Aku lalu kembali ke kamar dan berbaring di atas ranjang. Entah apa yang Ku pikirkan.
Sepuluh menit kemudian....
“Udah selesai shalat, Ra?” tanya Mama
“Udah Ma” jawabku spontan. “Astagfirullahhal adzim, Aku telah berbohong. Tapi biarlah, toh baru sekali ini saja” ucapku setengah berbisik.
Layaknya seorang profesor, di jam-jam seperti ini Aku selalu sibuk belajar dan mengerjakan pr (pekerjaan rumah). Perut yang sedari tadi minta diisi, tak Ku hiraukan. Bagiku, belajar dapat membuat kenyang. Belajar dapat membuat hari-hariku semakin indah. Belajar dapat menjauhkanku dari masalah-masalah yang acapkali datang menghampiriku. Dan belajar juga dapat menjadikanku lebih berarti di mata orang-orang yang selalu menganggapku jelek.

O O O


“Wah, Aku telat!” ucapku ketika terbangun dari tidur.
Kini, jam di dinding kamarku menunjukkan pukul 06.35.
“Waktuku tak banyak.”
Dengan cepat Aku berlari menuju kamar mandi yang terletak di samping kamarku. Aku pasrah, dan Aku yakin kali ini pasti Aku terlambat. Lagi-lagi shalat shubuh Aku lewatkan begitu saja tanpa ada sedikitpun rasa bersalah di benakku. Walaupun Papa selalu menyindirku karena jarang bahkan tak pernah mengerjakan shalat shubuh, Aku tetap tak pernah menggubris sindiran Papa. Urat maluku masih tersambung dengan erat, pikirku.
Seusai mandi, dengan cekatan Aku membenahi diriku. Mengusapkan lotion di tangan dan kakiku, memoles bedak di wajahku, dan menyemprotkan parfum ke badanku. Rambut Ku biarkan terurai, karena Aku tak sempat mengikatnya dengan berbagai gaya yang Aku tahu.
“Begini juga bagus” ujarku bangga. “Wah, kayaknya nggak ada waktu lagi untuk sarapan. Aku harus bergegas!!”
“Ra, sarapan dulu” pinta Mama.
“Nggak ada waktu, Ma” jawabku seraya memasang sepatu.
“Siapa suruh mau bangun telat?” cibir Mama.
“Nggak shalat shubuh lagi” tambah Papa.
“Pokoknya Kamu harus sarapan!” tegas Mama.
“Iya...iya” jawabku kesal.
Akhirnya dengan berat hati Aku menuruti kemauan Mama untuk sarapan. Memang, sarapan itu penting, dan Aku sangat paham itu. Tapi, Aku tak menyukai sarapan. Sarapan selalu membuatku merasa tak nyaman di sekolah. Mungkin orang-orang menganggapku adalah manusia yang langka. Bahkan sahabatku, Nindy, selalu terheran-heran dengan tingkahku. Namun, apa mau dikata??? Inilah Aku!! Sebab, Aku senang menjadi diriku sendiri.
Tapi syukurlah, menu sarapan pagi ini hanyalah roti berisikan selai kacang. Kalau menu sarapannya beraneka ragam dengan nasi sebagai hidangan pokoknya, bisa stress Aku!!
“Terima kasih, ya Allah...” batinku berkata.
“Kamu kenapa? Kok bengong? Buruan habisin sarapanmu!!” bentak Mama padaku.
“Orang tua yang galak” bisikku dalam hati.
Setelah menghabiskan roti berisikan selai kacang, Aku pun langsung melangkahkan kakiku keluar dari meja makan.
“Assalamualaikum” teriakku.
Jawaban “waalaikumsalam” terdengar samar-samar di telingaku.
Setiba di sekolah, Ku dapati pagar telah tertutup. Di balik pagar berwarna cokelat itu, berdiri orang tua separuh baya. Ia adalah satpam sekolahku. Orangnya memang galak, tapi tak segalak Mamaku. Ku tengok jam di tangan tepat menunjukkan pukul setengah delapan. Aku terlambat lima belas menit.
“Pasti Aku dihukum” ucapku setengah berbisik sambil membayangkan hukuman yang akan Ku jalani.
“Mengapa terlambat?” sergap sang satpam dengan tampang masam. Dan otomatis menyadarkanku dari khayalan.
“E... e... masih sarapan Pak !” jawabku kaku.
“Masih sarapan? Anak yang aneh. Masa hanya karena sarapan kamu bisa terlambat? Alasan yang tidak masuk akal!” bantah Pak satpam.
“Yeh, emang benar Pak,” kataku membela diri.
“Apapun alasannya, kamu tetap dihukum. Dan hukumannya adalah memunguti sampah di halaman sekolah,” jelas sang satpam seraya menyodorkanku sebuah kantong plastik hitam berukuran kecil dari saku celananya.
“Hebat! Pak punya kantong ajaib ya? Berarti Pak adalah Doraemon kedua dong?” candaku pada Pak satpam galak itu.
“Ngomong apa kamu barusan?” tanya satpam itu penasaran.
“Wah, rupanya pendengaran satpam sekolahku agak sedikit terganggu nih. Baguslah!” ucapku setengah berbisik.
“Hei, ngomong apa kamu?” tanyanya sekali lagi.
“Nggak ngomong apa-apa kok, Pak” ujarku bohong.
“Ya sudah. Nih...”
“Untuk apa ini?” tanyaku pura-pura tidak tahu.
“Menaruh sampah” jawabnya tegas. “Lakukan sekarang!”
Malang betul nasibku. Namun, apa dayaku? Ini memang salahku. Dan tentunya, Mama terlibat di dalamnya. Satu per satu sampah yang berserakan di halaman sekolah Ku pungut. Sampahnya memang tak begitu banyak, namun antara sampah yang satu dengan sampah yang lain terpisah oleh jarak. Keringatku semakin banyak yang bercucuran. Begitu juga dengan beberapa orang yang tengah menjalani hukuman yang sama denganku.
Tinggal beberapa sampah lagi yang harus Ku isi ‘tuk memenuhi kantong plastik ini. Lelah rasanya. Pandangan siswa-siswa lain yang menukik tajam ke arahku tak Ku hiraukan. 10 menit telah berlalu, dan akhirnya selesai juga hukuman ini.
“Huuh! Hari yang menyebalkan,” keluhku.
Kini, Aku harus kembali berjalan menuju kelasku yang terletak di lantai dua.
“Hai, Ra. Telat lagi ya?” sapa Nindy ketika Aku masuk kelas dan duduk di bangkuku.
“Iya nih. Sial banget deh! Semua ini...”
“Semua ini kenapa Ra?” tanya Nindy santai.
“Semua ini gara-gara Mama” jawabku lepas.
“Aduh Ra, sehari aja kamu ngak nyalahin Mama kamu kenapa sih? Nggak bisa ya?” ujar Nindy.
“Mama orangnya memang kejam. Dia jahat. Dia nggak pernah tahu perasaanku. Dia nggak pernah peduli sama Aku. Pokoknya setiap hari Aku selalu dimarahi, katanya kamarku berantakanlah, Aku orangnya sombonglah, inilah, itulah. Seandainya kamu jadi Aku, mungkin sekarang Kamu adalah penghuni rumah sakit jiwa. Manusia mana sih yang mau dimarahi setiap hari dengan alasan yang tak pasti? Mama itu otoriter, seenaknya sendiri.”
Tanpa sadar, linangan air mata mulai memenuhi mataku. Setiap kali Aku mencurahkan perasaanku tentang Mama, kesedihan selalu datang menghampiriku dan memaksaku ‘tuk menangis.
“Ra, kamu nggak boleh berpikiran gitu dong. Setiap orang tua di muka bumi ini pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Mana ada sih orang tua yang tega menjerumuskan anaknya sendiri, nggak ada kan?” nasehat Nindy.
“Ada kok. Siapa bilang nggak ada. Orang tua itu tidak lain dan tidak bukan adalah Mamaku sendiri”.
“Ra, jangan bilang kalau kamu telat karena harus sarapan...’” sindir Nindy.
“Emang itu yang ingin Ku katakan!” seruku sinis.
“Ra, harusnya kamu bersyukur sama Allah, karena kamu dianugerahi Mama yang perhatian banget sama kamu. Aku aja iri ngelihat Mama kamu begitu perhatiannya sama kamu,” tutur Nindy membujukku.
“Bersyukur? Harusnya kamu yang bersyukur, karena nggak punya Mama yang galaknya seperti macan. Jujur, Aku sangat tersiksa dengan kondisiku yang seperti ini. Bayangin, setiap saat selalu Aku yang mengalah.” Bantahku meyakinkan Nindy bahwa Mamalah yang paling bersalah.
“Eh, gurunya udah masuk tuh” bisik Nindy.
Aku dan Nindy menghentikan pembicaraan. Pelajaran hari ini sungguh sangat membosankan bagiku.
“Assalamualaikum Warrahmatulahi Wabarakaatu” sapa Bu Siti mengawali pembelajaran.
“Waalaikumsalam warrahmatullahi wabarakaatu” jawab kami serempak.
“Baiklah anak-anak, hari ini Ibu akan mengulas tentang keutamaan shalat. Ibu akan membacakan sebuah hadits, dengarkan baik-baik. ‘Dari Abu Dzar r.a, bahwasanya Rasulullah SAW keluar dari rumahnya ketika musim dingin, waktu itu daun-daun berguguran, Rasulullah SAW mengambil ranting dari sebatang pohon, sehingga daun-daun di ranting itupun banyak berguguran. Kemudian Rasulullah SAW bersabda: Wahai Abu Dzar! Saya menyahut: Labbaik, ya Rasulullah. Lalu beliau bersabda: Sesungguhnya seorang hamba yang muslim, jika menunaikan shalat dengan islam karena Allah, maka dosa-dosanya akan berguguran seperti gugurnya daun-daun ini dari pohonnya.’ Itulah sekilas cerita tentang Rasulullah SAW. Nah, anak-anak, kita sudah tahu, mendirikan shalat adalah salah satu bangunan islam yang harus kita tegakkan, untuk itu, sebagai umat islam, jangan pernah meninggalkan shalat,” jelas Bu Siti panjang.
“Iya, Bu” teriak kami.
“Ada yang ingin bertanya?” tanya Bu Siti.
Tiba-tiba terlintas di pikiranku tentang kesalahan yang Aku lakukan tadi malam. Sebenarnya Aku ingin sekali menanyakan hal ini pada Bu Siti, namun Aku takut. Terpaksa niat ini Ku urungkan.


O O O

Waktu berlalu begitu cepat. Siang berganti malam, dan malam berganti siang. Jujur, Aku bosan dengan hidupku yang seperti ini. Dikekang!!
Hingga pada suatu hari, Aku kembali mengalami kejadian yang membuat hatiku menangis.
Malam itu udara begitu mencekam. Angin berhembus perlahan, menggoyangkan dedaunan di ranting pohon, dan menari-nari dalam heningnya malam. Harusnya di malam yang dingin ini, Aku bisa menenangkan diri. Namun ini sebaliknya. Omelan-omelan Mama lagi-lagi datang menghampiriku.
“Ra, makan dulu!” panggil Mama padaku.
“Bentar, Ma!” seruku singkat.
Beberapa menit kemudian Mama kembali meneriakiku. Ya, seperti biasa, menyuruhku makan. Tapi, sekali lagi Ku jawab, ”Bentar Ma. Nanggung nih!”
“Eh, sampai kapan mau nunda-nunda makannya? Badan udah kecil, dipelihara terus. Bersyukur dikit kenapa sih? Kamu tahu, masih banyak anak yang memerlukan makanan. Nah kamu, udah disediain makanan, nggak mau makan. Jangan-jangan kamu mau makan pasir dan batu? Kalau mau, bilang aja, biar Mama taruh di piring!” omel Mama.
“Huuuh...” keluhku kesal.
Sekarang Aku harus meninggalkan belajar. Selama makanan-makanan itu Ku suapkan ke dalam mulutku, omelan-omelan Mama terus menghujamku.
“Bagaimana Aku bisa menikmati makanan ini? Ya Allah..!! Inikah balasan-Mu untukku? Apa yang telah Ku perbuat?” ucapku dalam hati.
Malam semakin larut. Namun angin di luar sana tetap bermain bersama dedaunan. Ku layangkan pandangan ke arah meja belajar yang terletak di sudut kamar. Di sana nampak sebuah buku harian. Buku harian yang selalu menjadi sahabat setiaku, yang selalu bersedia menampung semua keluhanku.
Sabtu, 07 Maret 2009
Hai sahabat kecilku....
Aku bosan dengan hidupku yang seperti ini. Aku bagaikan burung dalam kandang singa. Apakah Aku ini anak angkat??? Yang dipungut dari kolong jembatan?? Punya Mama galaknya seperti macan, Papa yang sok tahu, dan adik yang paling menyebalkan sedunia, cerewet, dan juga centilnya minta ampun..!! Sahabat kecilku, kapan sih akhir dari semua ini??? Apa sampai Aku mati kisahku ‘kan terus begini?? Sahabat kecilku, Aku ini manusia atau bukan?? Aku manusia ciptaan Allah kan?? Tapi, mengapa selau ini yang Ku terima?? Aku punya perasaan, Aku bukan patung. Aku ingin dihargai. Orang tua yang tak punya nurani..!!
Seusai mencurahkan semua perasaanku, tiba-tiba muncullah adikku. Adik yang bukan adik. Dia selalu saja menggangu segala aktivitasku. Di mana ada Aku, di situ ada dia. Kali ini ia kembali membuatku tersiksa. Ingin rasanya Aku mencabik-cabik diriku sendiri. Mengapa selalu Aku yang disalahkan? Jika adikku menangis karena ulahnya sendiri, Aku yang disalahkan, Aku yang dimarahi, dan Aku pula yang disudutkan.
“Rara! Sudah berapa kali Mama bilang, kamu itu udah gede, adikmu masih kecil. Mama udah bosan ngelihat kamu terus bertengkar sama adikmu sendiri. Kamu punya otak nggak sih? Tiap hari kerjanya cuma belajar, nggak pernah bantuin orang tua. Bantuin juga nggak becus. Mending nggak usah ngapa-ngapain. Supaya kamu tahu ya, kamu itu cuma anak. Cuma anak!! Anak hanyalah darah lebih. Coba dulu Ku gugurkan kandunganku ketika kamu ada di dalamnya. Mungkin sekarang rumah ini lebih tenang. Dasar anak yang tak tahu diri. Bisanya cuma harap gampang sama orang tua.” ejek Mama padaku.
Sakit rasanya hati ini. Bagai tertusuk bambu runcing. Batinku menangis. Omelan Mama malam ini semakin menambah tumpukan kebencianku pada Mama. Kebencian, amarah, kesedihan, dan kekecewaan bercampur jadi satu. Namun sayang, semua itu tak kuasa Ku luapkan, dan hanya dapat Ku pendam sendiri. Diriku amat tersiksa. Namun, apa dayaku?? Menangis? Percuma! Membentak? Itu mustahil. “Ya Allah, inikah nasibku?”
Jika kata-kata ini kembali terngiang di telingaku, Aku jamin, hatiku ‘kan terluka kembali.
“Tuhan tak adil!” seruku spontan.

O O O

Langit mendung. Awan hitam merapatkan barisan. Guntur dan kilat sambar menyambar silih berganti. Angin kencang turut menggoyangkan dedaunan di dahan pohon. Ini pertanda akan segera turun hujan. Padahal masih sore, namun malam memaksa dirinya ‘tuk datang lebih awal. Kini, hujan deras dan angin kencang kembali mengguyur kotaku untuk kesekian kalinya di musim penghujan ini. Rupanya, kesedihanku tadi malam baru mulai dirayakan oleh curahan air hujan ini.
Lebaran tahun ini jatuh pada tanggal 1 Syawal 1430 Hijriyah, atau tepatnya tanggal 21 September 2009 menurut kalender masehi. Aku masih bingung, mengapa antara pemerintah, yakni pihak NU (Nahdatul Ulama), dan pihak Muhammadiyah selalu saja berbeda pendapat dalam hal penentuan awal dimulainya bulan puasa dan idul fitri. Ada yang bilang bulan masih nampak, dan ada pula yang bilang bulan tak nampak lagi. Apa maksud mereka? Jujur, sama sekali Aku tak mengerti tentang hal ini. dan biarlah itu menjadi urusan mereka.
“Sekarang bulan Juni. Hmm, tiga bulan lagi!” kataku dalam hati.
Sore kini mulai menjelang malam. Namun hujan yang turun semakin menjadi-jadi. Bunyi air hujan yang sedari tadi menyentuh atap rumahku terus membuat kuping ini sakit. Walaupun bunyinya tak menusuk, tapi tetap saja membuat kegaduhan. Ditambah lagi suara berisik kedua orang tuaku yang tengah heboh-hebohnya bertengkar. Akh, mereka tak pernah akur.
Mama orangnya sangat cerewet. Mulutnya tak pernah berhenti mengoceh. Ia selalu punya seribu satu alasan ‘tuk memarahi kami. Kali ini Papa dimarahi dengan alasan jarang shalat. Hmm, memang Papa pantas dimarahi. Masa’ sudah jadi orang tua, tapi tak pernah ingat akan kewajibannya sebagai seorang islam. Tapi kalu dipikir-pikir, Mama juga aneh. Mama selalu memarahi dan menilai orang lain, padahal ia sendiri tak sesempurna yang ia bayangkan. Aku heran, tak bisakah Mama menilai dirinya sendiri?? Shalat saja bolong-bolong, masih saja sok menceramahi orang lain.
“Eh, Danu... !!! Supaya kamu tahu, shalat disyariatkan dalam semua ajaran Nabi sebelum Rasulullah Muhammad. Shalat itu penting, karena shalat merupakan penghubung antara manusia dengan Rabb-Nya. Shalat lima waktu itu wajib. Shalat adalah perkara yang pasti diketahui oleh seluruh umat Islam di muka bumi ini, dan tidak seorangpun dari kaum muslimin ataupun orang-orang yang menisbatkan diri ke dalam islam yang mengingkari kewajibannya. Kalau kamu nggak shalat, itu artinya kamu kafir!!” ceramah Mama.
“Kafir? Kafir? Saya ‘kan tidak keluar dari agama Islam, jadi nggak bisa dikatakan kafir!” balas Papa.
“Tapi kamu telah meninggalkan kewajibanmu sebagai seorang Islam. Shalat itu tiang agama. Kalau kamu mati nanti, kamu pasti masuk neraka!” seru Mama lantang.
“Akh, sudahlah. Bisa diam kan? Emosional sekali! Iya, iya, nanti Papa shalat...” sambung Papa.
“Waktu susah, shalat nggak pernah ditinggalin. Sekarang, mentang-mentang udah sukses, kewajiban dilupakan!” tambah Mama sinis.
“Huuh... cape...” ucapku setengah berbisik.
Rumah ini sudah seperti neraka bagiku. Adik yang begitu menyebalkan, Mama yang galaknya minta ampun, Papa yang sok tahu, dan ditambah lagi pertengkaran antara Mama dan Papa yang telah menjadi rutinitas. Pertengkaran mereka seolah-olah tak ada ujungnya. Yah, Aku tahu! Penyebabnya tidak lain dan tidak bukan adalah Mama!
Patut Aku akui, Mama memang sangat mengerti tentang agama islam, tapi itu juga karena ia rajin menyaksikan acara-acara bernuansa islami di televisi, seperti ceramah, musik islam, dan lainnya. Kalau tidak, mana ia bisa tahu?

O O O

“Kuukuuruuyuuk” suara kokokan ayam telah terdengar. Sang surya sedikit demi sedikit muncul dari ufuk timur. Burung-burung yang bertengger di dahan pohon dan yang tengah terbang di langit biru berkicau riang. Dedaunan pun turut melambai perlahan, seakan-seakan sedang mengucapkan selamat tinggal pada rembulan. Tanah di luar sana masih basah akibat hujan lebat semalaman. Bahkan mungkin ikan-ikan yang ada di kolam tengah menggigil kedinginan. Suara ribut tak Ku dengar lagi pagi ini. sepertinya Mama dan Papa tak bertengkar lagi. Ku langkahkan kaki ini menuju dapur, dan di sana Ku dapati Mama sedang menyiapkan sarapan pagi.
“Syukurlah,”
Sinaran mentari rupanya mampu mengubah hari yang gelap menjadi terang. Pertengkaran menjadi perdamaian, dan Aku yang sedih menjadi riang.
Tentunya pagi ini Aku akan lebih bersyukur. Aku tak akan mengeluh tentang sarapan, soalnya makan malam tadi malam Aku lewatkan begitu saja. Bagaimana tidak, pertengkaran mereka telah memaksaku untuk kenyang.
“Nah, gitu dong,” sapa Mama ketika mendapatiku tengah menikmati sarapan pagi tanpa disuruh.
Aku hanya terdiam, malas untuk berkata-kata. Ucapan Mama tak Ku gubris sama sekali. Untung saja Mama tak tahu kalau Aku tak menyentuh makanan tadi malam. Jika Mama tahu, sekarang Aku pasti tengah disembur habis-habisan olehnya. Tapi sayang, sekali lagi shalat subuh Aku lewatkan. Yah, biar saja! Kedua orang tuaku saja tahunya cuma bertengkar.
“Dasar orang tua yang tak tahu diri. Nyuruh anak bisa, ngerjain sendiri susah amat. Nyeramahin anak, lancaaar banget, tapi nyeramahin diri sendiri nggak pernah.” Ucapku dalam hati.
Aku merasa dunia ini semakin sempit. Padahal jika ditelusuri, negara Indonesia ini, ya... bisa dibilang sangat luas. Di dalamnya banyak bertebaran umat manusia, baik itu pria maupun wanita dengan karakter yang berbeda-beda. Ada yang pemarah, pendendam, tukang iri dan dengki, bahkan ada yang galaknya seperti macan. Baru disentuh sedikit saja, kita langsung kena sambarannya. Ada pula orang yang bila kita tak menyapanya duluan, ia langsung mencap bahwa kita adalah pribadi yang sombong. Sungguh perilaku yang sangat konyol. Namun, ada juga orang yang baik dan ramah. Yah, mungkin merekalah yang pantas mendiami dunia ini.
Di sinilah dapat kita lihat, bahwa fakta yang mengungkap negara Indonesia adalah negara yang luas dengan pulau-pulau yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, akan berubah menjadi sempit bila orang-orang yang berdomosili di dalamnya tetap berperangai tidak baik...
Kurang bukti apa lagi? Bahkan, bencana terus menghujani negeri ini.
Minggu, 26 Desember 2005 lalu, kota yang dikenal sebagai “Serambi Mekkah” dihantam gelombang dashyat, tsunami. Lebih dari 100.000 jiwa menjadi korban keganasan tsunami. Hanya dalam hitungan menit, gelombang laut itu menyerbu daratan dan menghancurkan segalanya. Bangunan-bangunan megah yang kokoh berdiri, dihantamnya hingga remuk berkeping-keping. Terlalu banyak wilayah yang porak-poranda akibat terjangan gelombang dashyat itu. Ratusan ribu jiwa dihanyutkannya tanpa diberi kesempatan ‘tuk menghindarkan diri. Anak-anak kecil pun menjadi saksi bisu. Pekik-pekik membesarkan nama Allah terdengar di setiap sudut kota Aceh. Air mata tumpah tiada habisnya. Sungguh sebuah tragedi yang memilukan sekaligus menyayat hati.
Ada juga gempa di Jogja beberapa waktu silam yang membangunkan orang-orang dari istirahatnya. Sama!!! Korban berjatuhan.
Lumpur lapindo dan banjir hampir menenggelamkan segenap bahkan seluruh hunian penduduk.
Pemboman berlomba-lomba menghanguskan bumi pertiwi ini. Tempat yang semula adalah wahana berteduh, dalam waktu singkat berubah menjadi abu...
Akhir-akhir ini, terlalu banyak tragedi jatuhnya pesawat yang menggadaikan nyawa sebagai taruhannya.
Orang-orang yang tak bermoral terus menuai kebatilan dan mencoreng nama baik negeri ini.
Perampokan, penjambretan, curanmor, tindakan pelecehan, pemerkosaan, prostitusi, perdagangan manusia, penipuan, dan tindakan kriminal lainnya terus bergejolak seakan tiada henti.
Bahkan para saudara seayah seibu saling bermusuhan hanya untuk meraih kesenangan dunia belaka.
Kadang Aku berpikir, di manakah nurani mereka? Hmm, tapi itulah fakta!!!
Tak hanya orang dewasa yang menjadi pelakunya. Selain kenakalan remaja yang dilakoni para remaja, tindakan tercela yang kecil sekalipun dapat menjadi bibit tindak kriminal di masa mendatang.
Contohnya adalah di kelasku sendiri saat menghadapi ujian. Setelah Aku selesai mengerjakan ujianku, Ku sisihkan waktu untuk menoleh keadaan di belakangku. Dan wow... apa yang terjadi? Ada yang saling bertanya, bertukar jawaban, menunjukkan jawaban mereka pada teman di samping mereka, dan bahkan ada yang berani membuka buku yang berkaitan dengan mata pelajaran yang sedang diujiankan. Kasihan!!
Bagaimana mungkin negeri ini akan berubah, sementara para kawula muda yang menjadi harapan bangsa, justru meghancurkan jati diri negara ini.
Pantas saja Indonesia tidak pernah masuk dalam kategori negara berkembang, apalagi negara maju, tapi hanya terpaku pada status sedang berkembang.
Bukan hanya manusianya yang saling membenci, tapi alam dan Sang Pencipta pun pasti sangat membenci kita karena ulah yang t’lah kita perbuat.
Namun kini, apa yang dapat Ku lakukan? Mustahil Aku menegur satu per satu orang dari Sabang sampai Merauke. Dan kalaupun mugkin, pasti tak seorang pun yang mau menggubrisku, tapi mereka akan mengatakan bahwa Aku adalah “orang aneh”.
Jalan satu-satunya adalah berdoa demi keselamatan umat manusia dan bumi pertiwi yang hampir langsai ini.

O O O

“Kring...kring...kring...”
Yah, itulah bunyi bel di sekolahku. Dan ini pertanda jam pelajaran pertama akan segera dimulai. Aku cukup bahagia, karena pelajaran hari ini tidak begitu membosankan bagiku. Bahasa Indonesia merupakan salah satu mata pelajaran yang paling ku senangi selain bahasa Inggris, matematika, dan biologi. Kebetulan, materi pelajaran hari ini adalah pengalaman.
Pak Rudi, guru Bahasa Indonesia di sekolahku, menyuruh kami untuk menulis pengalaman, baik itu pengalaman suka maupun duka.
Bukannya sombong, Aku memang mahir dalam menulis. Ya, itu karena hobiku memang menulis. Walaupun kelak nantinya Aku bercita-cita menjadi seorang dokter, tapi Aku tak mau membuang bakat menulisku begitu saja. Aku akan terus mengasahnya, ya, siapa tahu Aku bisa menjadi penulis terkenal? Jadi, profesiku bisa dua, dong! Hebat, bukan? Semoga saja impianku ini dapat terwujud. Amin.
Setelah Pak Rudi memastikan tugas yang diberikannya telah diselesaikan oleh semua muridnya, ia pun menunjuk salah seorang temanku untuk membacakan pengalamannya di depan kelas. Walaupun Dito tampak malu-malu, tapi akhirnya ia maju juga.
“Judulnya ‘Daging Kurban’. Hari itu, minggu, 31 Desember 2006 adalah hari raya idul adha bagi kami, umat islam di seluruh dunia. Hari itu juga merupakan hari terakhir di tahun 2006. Pagi-pagi sekali kami sekeluarga telah bersiap-siap untuk pergi ke masjid. Aku bahagia, karena Ibu mau membelikanku naju koko baru. Tapi itu juga karena Aku yang selalu merengek pada Ibu. Ibu juga memperingatiku agar baju itu tetap dijaga kebersihannya. Dengan mata yang berbinar-binar Aku mengiyakan nasihat Ibu. Kini, Aku dapat bergaya dengan baju koko baru. Ku semprotkan minyak wangi ke bajuku berulang-ulang hingga wanginya menusuk hidung. Memang, Aku adalah anak orang miskin, tapi, nggak ada salahnya kan, kalau Aku sedikit pasang aksi? Toh, wajahku tak jelek-jelek amat...” jelas Dito bangga.
“Huuh... pede amat!” seru beberapa siswa.
“Diam! Dito, lanjutkan ceritamu!” pinta Pak Rudi.
“Begitu Aku tiba di halaman depan masjid, semua orang menoleh ke arahku. Aku heran, ada apa ya? Mungkinkah Aku ini artis? Ataukah karena baju koko yang baru ini? Karena saking penasaran, Aku lalu mengamati diriku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Pantas saja semua terheran-heran padaku, ternyata Aku memakai sandal yang bukan sepasang. Yang sebelah kiri, sandal usang milik Ayahku, dan yang sebelah kanan, sandal cokelat milikku. Oh, malunya dirikiu. Karena Aku adalah salah satu panitia pemotongan hewan kurban, maka setelah shalat Aku tak pulang ke rumah. Tapi, Aku lupa untuk mengganti baju koko itu. Dengan lincah, tanganku bermain memotong satu per satu leher hewan kurban. Sandal yang tadi Ku simpan di balik pohon. Setelah acara pembagian daging kurban selesai, Aku pun langsung mengambil kantung plastik berwarna hitam tanpa terlebih dahulu Ku pastikan bahwa itu adalah kantung plastik yang berisi daging. Sandal yang Aku sembunyikan di balik pohon telah Aku lupakan. Setibaku di rumah, Ibu telah berdiri di depan pintu menanti kedatanganku. Namun sial, bukannya disambut, Aku malah diomeli karena baju yang Aku kenakan telah dipenuh bercak darah hewan kurban. Tapi Aku yakin, ketika kantung plastik berisikan daging itu ku berikan pada Ibu, beliau akan berhenti marah-marah padaku. Ternyata dugaanku meleset, Ibu malah tambah memarahiku. Aku sempat heran pada Ibu, namun setelah Aku melihat isi kantung plastik itu, Aku baru sadar kalau isinya bukan daging, melainkan kulit-kulit hewan kurban. Oh, sialnya nasibku. Tiba-tiba Ayah datang dan menanyakan sandalnya yang hilang. Aku pun dengan jujur mengatakan bahwa sandal itu Aku yang memakainya. Sial lagi bagiku. Ternyata sandal itu Aku tinggalkan di masjid. Ayah menyuruhku untuk mengambil sandal itu. Untuk kesekian kalinya Aku sial lagi. Ketika tiba di masjid, Aku tak melihat sandal yang Ku sembunyikan ada di balik pohon. Sandal itu hilang. Aku telah mencarinya di sekeliling masjid, namun Aku tak kunjung mendapatkannya. Aku pun memutuskan untuk pulang. Aku sudah dapat membayangkan hukuman apa yang akan Ayah berikan padaku. Pokoknya hari itu adalah hari tersial dalam hidupku. Harusnya di malam tahun baru itu Aku bisa menikmati rendang sapi buatan Ibu. Tapi sebaliknya. Ibu bahkan tak mau lagi membelikanku baju koko jika lebaran tiba. Kecuali Aku bisa meraih peringkat pertama di kelas. Mana bisa? Masuk peringkat sepuluh besar aja, udah ajaib banget!” cerita Dito.
Kami sekelas tertawa terpingkal-pingkal mendengar cerita dari Dito, bahkan ada yang sampai menangis karena saking lucunya.
“Baiklah anak-anak, beri tepuk tangan untuk Dito!” pinta Pak Dito. “Sekarang giliran kamu, Siti!”
Kali ini Aku harus mendengarkan dengan saksama pengalaman yang dialami Siti. Harus Aku akui, Siti memang mempunyai kemampuan menulis yang sama denganku. Tapi sayang, Siti tak begitu disukai oleh teman-teman satu kelas. Itu karena sifatnya yang jelek.
“Baiklah teman-teman. Inilah pengalaman saya. Judulnya ‘Mengapa Begitu Cepat?’. Kini, hilal syawal sudah diambang, dan sebentar lagi beduk takbiran akan bergema. Tapi sayang, di hari nan bahagia ini, Aku harus kehilangan seseorang yang sangat Aku sayangi, Ayahku! Peristiwa itu terjadi dua hari sebelum idul fitri tahun lalu. Waktu itu, tepat jam dua siang siang, Ayah berpamitan pada kami, katanya hendak pergi ke luar kota untuk suatu urusan. Aku tak tahu apa yang akan Ayah lakukan di sana. Setahuku, Ayah hanyalah seorang penjahit keliling. Penghasilannya tak seberapa. Tapi Aku sangat bangga pada Ayah. Walaupun penghasilan Ayah hanya cukup untuk makan kami sehari-hari, tapi Ayah mampu menyekolahkanku hingga ke jenjang SMA ini. setelah berpamitan, Ayah pun berangkat. Ayah tak mengatakan dengan jelas, kota mana yang akan beliau kunjungi. Sebenarnya, Aku sangat merasa dikucilkan, karena sejak Ayah diPHK dari pekerjaanya enam tahun yang lalu, sejak itu pula, setiap lebaran tiba, Aku tak pernah dibelikan baju baru. Baju yang ku gunakan hanya itu-itu saja. Tapi kata Ibu, baju baru tidaklah penting, yang paling utama adalah jika kita dapat menyambut hari yang fitrah dengan hati yang suci. Pada hari pertama keberangkatan Ayah, Aku masih merasa biasa-biasa saja. Tapi entah mengapa, pada hari ketika semenjak Ayah pergi, tiba-tiba Aku kehilangan semangat. Aku sendiri bingung dengan diriku. Selang beberapa ajm kemudian, datanglah tiga orang pria bertubuh tegap berseragam polisi mengetuk pintu rumahku. Melihat kedatangan ketiga polisi tersebut, para tetangga di sekitar rumahku langsung memenuhi pekarangan depan rumahku yang luasnya tak seberapa. Sepertinya mereka penasaran! Jangankan mereka, tentunya Aku sebagai pemilik rumah akan lebih penasaran. Salah satu polisi itu mengucapkan salam lalu melanjutkannya dengan sebuah kata , yakni ‘maaf’. Sontak Aku kaget. Memangnya apa yang telah diperbuat ketiga polisi itu terhadap keluargaku sehingga mereka harus meminta maaf? Polisi itu terus berujar, hingga akhirnya ia mengatakan bahwa Bapak Suharso, seorang penjahit keliling telah meninggal dunia setelah ditabrak oleh sebuah truk bernomor polisi 873 JL ketika hendak menyebrang. Innalillahi wa innalillahi rajiun! Itu Ayahku. Ayah tercintaku! Semua itu di luar dugaanku. Perlahan air maat menetes membasahi kedua pipiku. Tubuhku lemah tak berdaya, begitupun dengan Ibu. Bahkan Ibu sampai jatuh pingsan. Ayahku adalah sosok pria yang sangat berarti bagiku dan Ibu. Ayah adalah tiang harapan kami. Sepanjang hari berkeliling kota sambil mengayuh sepeda tanpa lelah. Ia tak peduli akan teriknya mentari yang terus menguras keringatnya. Semangat dalam dirinya sangat besar ‘tuk mengais rejeki demi menyambung nafas keluarga kami. Aku masih ingat ketika Ayah pulang membawakan sebungkus nasi goreng dan es cendol untukku. Mungkin bagi teman-teman sekalian, nasi goreng dan es cendol bukanlah hidangan yang istimewa, karena bisa diperoleh dengan mudah. Namun bagiku, nasi goreng dan es cendol itu sangatlah berarti, karena dibeli dengan uang hasil keringat Ayah seharian. Aku juga ingat, setiap malam Aku dan Ayah selalu mengaji bersama layaknya seorang Qori dan Qoriah. Sayang! Kini semua itu tinggal kenangan. Sosok Ayah yang pekerja keras dan penuh kasih sayang tak ‘kan pernah Ku temui lagi. Dan yang selalu Ku sesali hingga kini, mangapa semua itu terjadi begitu cepat? Pertanyaan itu sering Ku lontarkan pada Ibu. Ibu pun selalu menjawab, bahwa itu adalah kehendak yang Maha Kuasa. Yah, Ibu benar! Dan mau tidak mau, Aku harus bisa menerima kenyataan pahit ini, sekalipun itu terasa sangat berat. Jujur, Aku iri dengan teman-teman. Teman-teman sangat beruntung karena masih dapat melihat sosok pria yang disebut-sebut sebagai ’Ayah’ dan mendapatkan curahan kasih sayangnya. Sedangkan Aku hanya memiliki Ibu. Namun Aku bersyukur masih memiliki Ibu. Demikian pengalaman saya!”
“Sungguh pengalaman yang memilukan” bisikku dalam hati.
Begitu Siti mengakhiri ceritanya, suara riuh rendah tepuk tangan langsung menyerbunya. Sekalipun Siti tak begitu disukai di kelas, tapi setidaknya ia mampu membuat teman-teman sekelasku meneteskan air mata. Bahkan Pak Rudi tak kuasa membendung air matanya yang mengucur perlahan membasahi kedua pipinya.
“Tuh, Ra... dengerin! Dia aja sedih karena nggak punya Ayah,” tukas Nindy.
“Apa hubangannya denganku?”
“Kamu kan suka ngatain Mama kaumu galaklah, jahatlah, dan kamu juga bilang kalau Papa kamu itu sok tahu!”
“Kan kenyataannya emang gitu!” seruku santai.
“Ah, susah ya ngomong ama kamu, Ra. Hm, ya udahlah, semua itu terserah kamu aja. Aku kan cuma bisa memperingati. Tapi, kamu harus lebih bisa menghargai kedua orang tuamu ya?” pinta Nindy.
“Menghargai? Jangan harap! Sampai Aku mati pun, Aku nggak ‘kan pernah mau menghargai mereka, terutama Mama! Harusnya yang dihargai itu Aku, bukan mereka! “ jawabku singkat.
“ Baik. Terima kasih Siti! Nah anak-anak, kalian telah mendengarkan pengalaman dari Siti. Bapak harap, mulai detik ini, kalian harus lebih menghargai dan menghormati kedua orang tua kalian. Sebab, tanpa mereka, kalian tidak mungkin ada di dunia ini, dan kalian tidak mungkin bisa duduk di bangku sekolah seperti sekarang ini. Sebagian diantara kalian masih sangat beruntung karena memiliki Ayah dan Ibu yang sangat sayang pada kalian, tapi sebagian yang ada di sini dan di luar sana hanya memiliki Ayah atau Ibu, bahkan tak keduanya...” jelas Pak Rudi.
“Halah, omong kosong! Mendingan mereka mati aja biar dunia ini aman!” sahutku pelan.
“Hush, jangan sembarangan kamu!” tegur Nindy.
“Bapak sendiri yatim piatu. Ayah Bapak meninggal ketika Bapak masih duduk di bangku kelas dua SD. Tapi, ini bukan saatnya Bapak untuk bercerita! Sekarang, siapa yang ingin menceritakan pengalamannya?” tanya Pak Rudi sambil mengarahkan pandangannya ke sekeliling kelas.
Suasana dalam kelas berubah hening. Tiba-tiba tedengar suara, “Saya, Pak!”. Ternyata pemilik suara itu adalah Rika.
“Silahkan,” pinta Pak Rudi.
“Assalamualaikum dan selamat pagi teman-teman. Terima kasih atas waktu dan kesempatan yang diberikan kepada Saya untuk menceritakan pengalaman Saya...” ujar Rika dengan gaya berbicaranya yang monoton.
“Kalau mau cerita, langsung ke intinya aja, nggak usah pake sambutan-sambutan segala! Emangnya kamu pembawa acara di pesta nikah?” tegur Dino, si ketua kelas.
“Baiklah. Terima kasih atas tegurannya. Judul pengalaman yang akan ceritakan adalah ‘Sahabat Bagian Jiwaku’. Dulu, tepatnya ketika Saya duduk di bangku kelas dua SMP, Saya memiliki seorang teman akrab, tapi mungkin lebih enak disebut sebagai sahabat. Saya dan Nila memiliki hobi yang sama, tapi...”
“Tapi apa?” tanya beberapa siswa penasaran.
“Tapi kita bukan saudara.” Ujar Rika melanjutkan ceritanya.
“Ya iyalah kalian bukan saudara. Judulnya aja tentang sahabat, dan ceritanya juga tentang sahabat. Dan kamu juga bilang kalau Nila itu sahabat kamu. Ya jelaslah bukan saudara. Bego amat sih,” marah Dino.
“Dino!” tegur Pak Rudi. “Silahkan lanjutkan.”
“Apanya yang dilanjutkan?” tanya Rika dengan tampangnya yang polos.
“Ceritanya!” jawab Pak Rudi.
“Oh, ceritanya mah, udah selesai, Pak!” seru Rika seraya berjalan menuju tempat duduknya.
Pak Rudi hanya terdiam. Beliau tak tahu apa yang harus beliau lakukan. Pak Rudi pun tak tahu, apakah yang dilakukan Rika itu benar, atau salah?
Tiba-tiba bel yang berada di depan pintu kelas kami berdering, dan menambah riangnya para siswa yang pada saat itu tengah menyaksikan betapa anehnya Rika.
“Baiklah anak-anak. Pelajaran kita berakhir sampai di sini. Minggu depan akan dilanjutkan lagi. Assalamualaikum.” Ucap Pak Rudi menutup pembelajarannya.
“Waalaikum salam...” jawab sebagian siswa.
“Hai Ra, tadi pagi kamu telat, ya?” sapa Vani, sahabatku.
“Kok tahu?” tanyaku aneh.
“Ya iyalah tahu, kan tadi pagi kamu yang jadi pusat perhatian di sekolah ini!” jawab Icha.
“Oh!” seruku polos.
“Eh Nin, kamu udah dapat kabar baru?” tanya Vani.
“Kabar baru apa?” Nindy balik bertanya.
“Itu tuh, si Revan, cowok kelas sebelas bahasa pacaran sama Echa...” terang Vani.
“Echa? Echa kawan sekelasku?” tanya Nindy lagi.
“ Iya. Emang ada berapa Echa sih di sekolah ini?” ujar Icha meyakinkan.
“Echa?” Aku mencoba mengikuti alur pembicaraan mereka.
“Hh, iya.” Jawab Vani terpaksa.
“Kantin, yuk! Cha, Nin!” ajak Vani.
Icha dan Nindy pun beranjak dari bangku mereka dan melangkah keluar kelas.
“Mereka tak mengajakku!” seruku dalam hati.
“Ra,” tegur Icha sesaat sebelum meninggalkan kelas.
“Nggak.” Jawabku. “Lagian udah terlambat” ucapku setengah berbisik.
Ya, Aku memang memiliki tiga sahabat. Nindy, Icha, dan Vani. Di awal persahabatan kami, semuanya berjalan mulus. Kami selalu kompak, tak terpisahkan. Hm, mungkin karena pada waktu itu kemampuanku belum tereksplor sempurna, sehingga dalam setiap kegiatan Aku selalu dilibatkan dan dimintai pendapat. Namun, akhir-akhir ini, sejak Aku mulai dipanggil untuk mengikuti begitu banyaknya kegiatan dan perlombaan, mereka perlahan menjauhiku, dan sering menyudutkanku. Mereka selalu sibuk dengan urusan mereka sendiri. Di kala mereka bercakap-cakap, Aku hanya didiamkan layaknya sebuah tape recorder. Mendengar semua pembicaraan mereka, tanpa terlibat di dalamnya. Toh, percuma juga Aku berbiara, perkataanku selalu dibubuhi dengan begitu banyaknya bumbu yang pedas. Pasti di mata mereka Aku adalah makhluk yang sok tahu, sehingga mereka tak menyukaiku. Jujur, hatiku sakit. Aku bagaikan lebah cacat dalam komunitas lebah pekerja. Aku tak pernah dihiraukan. Dan Aku pun yakin, pasti di belakangku tersimpan sejuta perkataan buruk, tentangku, tentunya.

O O O

Angin laut berhembus sepoi-sepoi membelai beberapa helai rambutku. Siang ini udaranya tak begitu panas. Ku pandangi debu-debu yang berterbangan disorot cahaya matahari dari balik pohon di luar sana. Debu-debu yang berterbangan sepertinya tengah menari-nari riang.
Hari ini Ku lewati dengan baik walaupun tak sesempurna yang Ku inginkan. Persoalan hari ini tak jauh berbeda dengan persoalan yang telah Aku hadapi kemarin, dua hari kemarin, dan mungkin esok. Ya... inilah hidup, tak selamanya berjalan mulus, selalu ada liku-liku. Sejenak Aku merenung. Menurut teori, hidup adalah roda yang berputar. Kadang kita di atas, kadang di bawah. Namun, Aku berusaha menjamah kisah hidupku selama ini. Rasanya, Aku tak pernah berada di atas, selalu di bawah. Dan mungkin di hari-hari yang akan datang Aku akan tetap berada di bawah. Aku masih ingat! Aku selalu disalahkan oleh kedua orang tuaku, tak peduli Aku ini salah atau benar. Di sekolah, Aku selalu dibenci oleh sahabat-sahabatku sendiri. Entah apa yang telah Ku perbuat sampai mereka segitu bencinya terhadapku. Bahkan, kini Aku merasa ada guru yang mulai menjauhiku. Kegiatan yang semula harus Aku ikuti, malah diganti dengan orang lain. Kata-kata salam yang Ku lontarkan tak ada lagi jawabannya. Aneh! Kalau dibilang sedih, Aku sedih. Bukan ini yang Ku mau!
Aku sering berdoa agar Aku segera dipanggil oleh Sang Khalik, karena percuma Aku hidup, namun tak ada gunanya pula. Tapi hingga kini, ajal itu tak kunjung menjemputku. Mungkin Allah tak sayang lagi padaku, hingga Ia rela membiarkanku merana di bumi yang fana, hasil ciptaan-Nya. Aku tahu, kematian itu abadi. Tak perlu kita minta pun, kematian itu akan datang pada kita. Aku pernah mendengar ceramah, katanya “jangan pernah cari mati, tapi rindukanlah mati, karena itu adalah ciri orang beriman.”
Untunglah! Aku tak pernah mencari mati. Tapi, apakah meminta mati itu salah? Aku rasa tidak. Aku tidak menabrakkan tubuhku ke mobil yang tengah berlalu-lalang di jalan raya, dan Aku pun tidak melompat dari gedung lantai sepuluh. Aku hanya memohon, dan tujuanku juga baik, supaya hidupku tak lagi dipenuhi kabut derita. Hm, tapi sudahlah! Ku jalani saja hidup di dunia ini, sekalipun dunia ini adalah panggung sandiwara.
“Buah jeruk buah kedondong, ada sms masuk dibaca dong” bunyi handphone menyadarkanku dari lamunan. Setelah ku baca, ternyata sms itu berasal dari orang yang tak Ku kenal. Yah, Aku selalu menerima sms-sms seperti itu setiap hari. Itu tak penting bagiku.
Tiba-tiba dari balik pintu Aku mendengar suara Mama yang tengah bercakap-cakap di handphone.
“...Oh, anaknya dibawa ke sini saja, biar nanti sekolahnya di sini. Kalau di sana kan kasihan, tak terurus. Sekarang kelas lima SD kan? ... Hm, minggu depan ada kapal yang ke sini, naik kapal itu saja... Baiklah, assalamualaikum.”
“Apa? Dia mau ke sini? Ih, ngerepotin aja! Mama tuh bego banget sih. Masa’ dia mau tinggal di sini? Pasti dia bego, tampang juga nggak bagus. Ah, malu-maluin aja,” tuturku pelan sambil berjalan keluar kamar ‘tuk menghampiri Mama.
“Ma, Mama mau bawa Alim ke sini?” tanyaku sinis.
“Iya! Nanti kalau dia udah datang, kamu ajarin dia ya?” pinta Mama.
“Hah? Ajarin? Ngapain diajarin? Dia kan bisa belajar sendiri. Tiara aja jarang-jarang Aku ajarin, nah, kenapa dia mesti diajarin?” bantahku ketus.
“Hush, nggak boleh ngomong gitu! Dia itu adik kamu juga!” marah Mama padaku.
“Adik? Dia tuh cuma sepupu, Ma!”
“Sama saja!” seru Mama spontan.
“Sama apanya? Beda, Ma! Ma, katanya Mama cape ngurusin dua anak, ngapain nambah satu beban lagi?”
“Dia kan laki-laki, jadi bisa ngejagain kamu dan adik kamu” jelas Mama.
“Jagain? Dia kan baru kelas lima SD, jagain apanya? Palingan kita yang jagain dia!” ucapku jengkel.
“Sudah. Diam kamu! Dia itu nggak ada yang ngurusin. Nenek udah nggak ada lagi. Ayahnya juga udah bercerai dengan istrinya, dan dia luntang-lanting nggak jelas. Minggu depan dia tiba di sini!” tegas Mama.
Aku hanya bisa mendesah, Aku tak dapat membantah Mama. Aku sadar, kini Nenekku telah tiada. Kepergiannya meninggalkan luka yang mendalam untuk semua. Andaikan waktu mampu Ku putar kembali, Aku ingin berada di sisinya pada saat-saat terakhirya. Namun, pada kenyataannya, ketika Nenek menghembuskan nafasnya yang terakhir, Aku malah berada di seberang pulau. Yah, itu bukan salahku, namun jaraklah yang memisahkan kami. Aku, Mama, Papa, dan Tiara berdomisili di Kupang, sedangkan Nenek dan sanak keluargaku bermukim di Bima, Nusa Tenggara Barat. Nenekku meninggal karena penyakit yang dideritanya.
Waktu itu, Mama menerima telepon dari Jogja, kalau Nenek sedang sakit. Mendengar kabar tersebut, Mama langsung bergegas membeli tiket dan berangkat menemui Nenek bersama adikku. Selama Mama pergi, Akulah yang mengerjakan semua pekerjaan di rumah, seperti mencuci piring, memasak nasi, dan lain-lain. Tapi, kalau menyangkut pakaian, ada tukang cucinya. Waktu Mama masih ada, Aku tak pernah repot menyetrika bajuku, dan Aku pun tak pernah tak sarapan. Sebab, ada Mama dibalik semua itu.
Setelah dua minggu Mama menjenguk Nenek, Aku menerima kabar kalau Nenek t’lah tiada. Saat itu jantungku seakan ingin berhenti berdetak. Wajah yang semula bersinar, seketika menjadi redup. Seseorang yang sangat Ku sayangi telah pergi jauh dariku. Aku pun tak sempat menatapnya untuk yang terakhir. Dan itulah yang selalu Ku sesali hingga kini.
Empat puluh lima hari berlalu semenjak kepergian Nenekku tercinta. Dan hari itu, Mama akan segera pulang. Mendengar kabar tersebut, Aku malah bingung. Apakah Aku harus bahagia? Atau sedih? Selama Mama tak ada, batinku menari-nari riang. Tak ada omelan, tak ada ribut-ribut, dan tak ada yang membuat hati kecilku menangis. Namun, selama itu pula Aku harus bersusah payah mengurus rumah dan diriku sendiri.
Setelah cukup lama berpikir, Aku putuskan untuk menyambut kedatangan Mama dengan tangis bahagia. Ini bukan berarti Aku terharu, tapi karena hatiku mendua.
Bunyi pesawat yang tengah mendarat di bandar udara El Tari Kupang membisingkan telingaku. Bunyi bising itu menandakan kalau beberapa saat lagi Aku akan bertatapan dengan Mama. Dan tidak salah lagi, kini, Aku telah bertemu dengan Mama. Pada saat itu, tak ada sedikitpun perasaan sedih yang muncul di benakku. Kesedihan itu telah Ku kubur dalam-dalam. Namun, kesedihan itu tiba-tiba bangkit kembali saat Mama mulai mengkritikku dengan kata-kata pedasnya.
“Kenapa pake baju yang itu? Jelek sekali!” tegur Mama.
“Jelek apanya?” tanyaku sinis.
“Ya jelek modenyalah!” jawab Mama singkat.
“Bagus kok!” bantahku.
“Bagua apanya? Kalau kamu pake baju itu, badan kamu yang udah kecil akan tambah kecil!” jelas Mama.
“Siapa bilang badanku kecil? Tubuhku ideal kok. Apa Mama mau badanku gemuk seperti balon udara?” bantahku sekali lagi.
Aku heran dengan Mama. Ia selalu mengatakan kalau tubuhku kurus dan kecil. Padahal tubuhku tak seperti itu. Aku rasa tubuhku ideal kok. Aku pun telah bertanya pada beberapa temanku, dan kata mereka, tubuhku ideal kok. Sesekali Aku berpikir, “jangan-jangan Mama iri padaku?”. Apakah Ia ingin badanku sebesar balon udara? Aneh!
“Huh...” keluh Papa. “Sudah-sudah, Mama sama anak sama saja. Rara, kamu kan sudah tahu sifat Mama kamu. Terima sajalah!” tegur Papa.
Yah, lagi-lagi Aku, dan selalu Aku yang mengalah. Mau di sekolah, di rumah, bahkan di bandara sekalipun, Akulah yang menjadi sasaran mereka. Memangnya, apa sih salahku? Apa Aku salah jika Aku tampil sesuai keinginanku? Apa Aku salah jika Aku yang selalu menjadi andalan di sekolah? Dan apa Aku salah jika Aku yang menjadi pusat perhatian? Andai saja Aku bisa memutar waktu, dan berbicara dengan Sang Pencipta, Aku akan memohon ‘tuk tidak dilahirkan ke bumi, atau kalau bisa, Aku ingin nyawaku dicabut pada saat ini juga. Tapi, kalau itu tak mungkin terjadi, biarlah orang-orang yang tak punya perasaan itu yang mati. Tapi sayang, semua itu hanya khayalan belaka! Untung saja Aku memiliki ilmu, jadi Aku masih dapat berpikir rasional untuk tetap menjalani kehidupan ini.

O O O

“Sahabat adalah seseorang yang selalu hadir dalam setiap suasana, baik suka maupun duka. Sahabat selalu menegur dan menasihati jika kita berbuat kesalahan. Sahabat itu nggak perlu cantik, nggak perlu hebat, yang penting ia selalu ada untuk kita. Mat malam sahabtku, mat bobo, dan mimpi yang indah ya! Aku sayang kamu!” ujar Icha sambil memencet-mencet tombol di telepon genggamnya.
“Itu sms dari Vani, kan?” tanya Nindy.
“Ya, tepat sekali!” jawab Icha.
“Kok dibacanya baru sekarang?” tanya Icha lagi.
“Tadi malam handphone ini Aku matikan, dan baru Aku hidupin. Ternyata ada sms dari Vani yang udah nongkrong dari tadi malam” kata Nindy seraya memasukkan handphone ke dalam saku bajunya.
Berarti yang menerima pesan singkat itu hanya Icha dan Nindy, sedangkan Aku dilupakan. Mendengar pembicaraan mereka yang tak sedikitpun menggubrisku, hatiku seakan disayat sembilu. Kalau begini ceritanya, lebih baik Aku bukan sahabat mereka.

O O O

Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, dan selama itu pula nasibku yang selalu terisolasi tak kunjung berubah. Hingga pada suatu hari, Aku merasakan dingin yang begitu mencekam, dan menusuk semua tulang rusukku. Memang, kini kotaku tengah dilanda angin sepanjang hari. Aku tak tahu pasti, apa nama anginnya! Yang jelas, angin ini semakin menghalangiku ‘tuk mengerjakan shalat shubuh. Ku tarik selimut yang tadi hanya menutupi sebagian tubuhku menuju ke atas kepalaku, sehingga seluruh badanku terbungkus oleh selimut. Suara adzan yang Ku tetapkan sebagai bunyi alarm di handphone, Ku abaikan dan Ku anggap sebagai musik pengantar tidur di pagi hari. Jangankan menyentuh air wudhu, dengan menginjakkan kaki ke lantai, Aku seperti merasa berada di atas gumpalan-gumpalan es di Kutub Utara. Huh, dinginnya minta ampun!
Tiba-tiba Aku mendengar suara ribut-ribut, sepertinya suara itu berasal dari dapur. Awalnya Aku mengira itu adalah maling, namun setelah memberanikan diri berjalan ke dapur, ternyata ada Mama di sana. Mama kali ini berbeda. Ia tak kelihatan sehat dan tegar, wajahnya pun nampak kusut.
“Ngapain Ma?” tanyaku pada Mama yang sedang membuka kotak obat.
“Nyari obat!” sahut Mama pelan.
“Obat? Obat apa Ma?”
“Obat sakit kepala. Kamu tahu obatnya ada di mana?” tanya Mama sambil mengarahkan pandangannya ke arahku.
“Ya, mana Aku tahu, Ma!’ jawabku sinis.
“Aduh, kepala Mama sakit sekali!” seru Mama memelas.
“Ya elah Ma, sakit kepala aja sampai segitunya. Biasa aja kenapa?” ketusku.
“Ini sakitnya bukan kepalang.”
“Ah, Mama banyak ngeluhnya. Cuma sakit gitu aja kok!” tambahku sembari menghampiri Mama di meja makan.
“Kamu enak, nggak ngapa-ngapain. Mama yang cape seharian kerja dan ngurus rumah nggak ada istirahatnya” ucap Mama berusaha tegas.
“Siapa bilang Aku nggak ngapa-ngapain? Aku belajar, Ma!” bantahku.
“Belajar itu nggak pakai tenaga, tapi otak. Kamu tuh kerjanya cuma belajar, belajar, dan belajar. Nggak pernah bantuin orang tua,” marah Mama padaku.
“Kalau Aku bantuin Mama, berarti Aku akan jadi anak yang bodoh di sekolah. Kalau Mama mau Aku kerja, boleh! Tapi jangan salahkan Aku jika nantinya nilaiku akan merah!”
“Halah, banyak alasan kamu. Dulu Mama juga sekolah, tapi Mama masih bisa membantu orang tua” cerita Mama berusaha mempengaruhiku.
“Tapi nilai Mama jelek, kan?” sindirku pada Mama.
“Diam kamu. Masih bau kencur udah berlaga nasihatin orang tua.” Bentak Mama.
“Hei, ada apa ini? Masih pagi buta udah ribut-ribut?” sapa Papa ketika memasuki dapur.
“Pa, obat sakit kepala di mana?” tanya Mama.
“Obat sakit kepala? Kalau nggak salah, ada di kotak obat itu deh!” jawab Papa singkat.
“Mana? Nggak ada nih”
“Oh, udah habis kali,” sahut Papa santai.
“Mama, Mama!” ucapku setengah berbisik.
Terkadang Aku kasihan pada Mama, namun kebencianku pada Mama lebih besar daripada rasa kasihan itu. Mama itu anah. cuma sakit kepala tapi laganya kayak kanker otak. Menyebalkan! Aku yang sakit demam saja, tak pernah mengeluh sampai segitunya.

O O O


Langit cerah, tapi sayang, hawa dingin terus menyelimuti Kota Kupang. Siang ini ada yang aneh dengan rumahku. Aku tak tahu, pergi ke mana semua penghuni rumah. Di ruang tamu, ruang keluarga, kamar Mama dan Papa, kamar Tiara, dapur, kamar mandi, taman belakang, kamarku, semuanya kosong.
“Ma, Mama... Mama, Ma...” panggilku.
Berulag kali Aku berteriak memanggil Mama, namun tak pernah ada sahutan. Akhirnya Aku memutuskan untuk menelpon ke handphone Mama.
Tapi yang Ku dengar hanyalah bunyi tut... tut... tut...! Mama tak mengangkatnya. Sekali lagi Ku coba ‘tuk menelpon Mama. Syukurlah, ternyata diangkat. Namun Papa yang mengangkatnya, bukan Mama!
Setelah bercakap-cakap dengan Papa, Aku baru tahu kalau sekarang Mama tengah berada di rumah sakit. Tadi pagi Mama pingsan. Dan menurut analisa dokter, rupanya Mama menderita penyakit dalam. Entah penyakit apa yang Mama derita sehingga mengharuskanya untuk diopname di rumah sakit.
Dua hari berlalu, dan selama itu pula Mama harus mendiami salah satu kamar di rumah sakit. Dan hari ini, hasil analisa dokter dan hasil pemeriksaan laboraturium akan segera kami ketahui. Hasil laboraturium itu terbungkus oleh sebuah amplop cokelat berukuran sedang. Kini, amplop itu tengah berada di tangan Papa. Pertama-tama Papa menyobek ujung amplop itu. Selanjutnya Papa mengeluarkan selembar kertas putih yang di atasnya bertaburan tulisan komputer. Aku yang berada di samping Papa terus menatap amplop dan kertas itu. Kedua mata Papa dengan cermat membaca hasil laboraturium tersebut. Aku pun tak mau kalah dengan Papa. Aku lalu mencoba memahami hasil laboraturium yang sedang dibaca Papa. Tiba-tiba sepatah kata keluar dari mulut Papa.
“Positif?” ucap Papa. Setelah berkata demikian, dengan cepat Papa langsung berjalan tanpa sedikitpun mempedulikanku. Aku pun berjalan mengikuti Papa sambil terus memaksa otak ‘tuk mencari tahu makna dibalik kata “positif”. Ternyata, tempat yang Papa tuju adalah ruang dokter. Aku ingin masuk, tapi Aku takut. Akhirnya Aku memutuskan untuk menunggu di luar.
Cukup lama Aku menunggu Papa, kira-kira tiga puluh menitlah. Dalam pikiranku tak ada hal lain kecuali menyelami arti kata positif dan kapan Papa keluar dari ruangan dokter. Tak sedikitpun terbersik dalam pikiranku ‘tuk menjenguk Mama yang tengah terbaring di rumah sakit ini. Lagian, kalau Aku menemuinya, Aku pasti dikritik habis-habisan. Untuk itu, lebih baik Aku tak menemuinya. Toh, Mama cuma sakit kepala biasa, bukan koma! Mama juga banyak mengeluh, hanya sakit kepala tapi harus nginap di rumah sakit.
Syukurlah, yang Ku tunggu-tunggu datang juga.
“Ada apa Pa?” tanyaku menyambut keluarnya Papa dari ruang dokter.
“Mama” jawab Papa singkat.
“Emangnya Mama kenapa?” tanyaku lagi.
“Mamamu menderita kanker otak stadium tiga!”
“Kanker otak?” ucapku kaget. “Kok bisa?”
“Kata dokter itu karena faktor keturunan. Sel-sel kanker itu sudah mengakar, dan itu yang membuat Mama sering mengerang kesakitan pada kepalanya.” Terang Papa
“Nah! Itu salah Mama sendiri, udah tahu kepalanya sakit masih aja terus marah-marah. Itu pasti peringatan dari Allah. Baguslah, biar Mama tahu rasa” tippalku pada Papa.
“Rara! Jangan kurang ajar sama orang tua!” bentak Papa kasar.
“Pa, Aku nggak pernah kurang ajar sama Papa dan Mama, tapi Papa dan Mamalah yang selalu menyalahkanku. Apa-apa, Aku yang salah. Aku mau begini, kata Mama nggak baik, Aku mau begitu, juga salah! Memangnya, apa sih mau Papa dan Mama?”
Plak! Tangan Papa mendarat kasar di pipi kananku.
“Anak durhaka! Beraninya kamu berbicara seperti itu sama Papa!” ujar Papa setelah menamparku.
“Oh... jadi menurut Papa, Aku pantas mendapat tamparan ini? baik! Aku ‘kan terima dengan senang hati.”
“Ya, kamu pantas menerima itu. Kamu tak pernah tahu berterima kasih pada kami yang telah merawat dan membesarkanmu. Dan kamu pun tak pernah menghargai Mamamu sebagai seorang wanita yang rela mempertaruhkan hidup dan matinya hanya untukmu!” tukas Papa.
“Apa? Papa bilang apa? Aku anak yang tak tahu berterima kasih? Pa, justru Aku adalah anak yang selalu berterima kasih pada Papa dan Mama. Aku tak pernah menuntut untuk dibelikan sesuatu. Aku pun tak pernah protes pada kalian karena kalian lebih memperhatikan Tiara daripadaku. Nggak pernah Pa!” jelasku.
“Hei, Tiara masih kecil!” sambung Papa.
“Halah, Aku bosan mendengar alasan yang sama. Satu hal lagi yang perlu Papa tahu, tamparan Papa barusan adalah sebuah penghinaan besar bagiku!” seruku seraya beranjak meninggalkan Papa.

O O O


Kata orang, hidup itu penuh warna, karena ada kalanya kita bahagia, sedih, dan kecewa. Hidup adalah sebuah ruang bagi kita untuk berekspresi dan menebar kebaikan di muka bumi ini. hidup akan tambah indah jika disikapi dengan bijak, dijalani dengan ikhlas, dibingkai dengan sabar, disimpul dengan kebaikan, iman, dan kasih. Hidup tak pernah menuntut kita untuk menjadi manusia paling sempurna di jagat raya ini, namun hidup mengajak kita untuk berusaha menjadi makhluk yang sempurna dan mulia di hadapan-Nya dan di hadapan sesama umat.
Itulah yang kini tengah Aku lakukan. Aku selalu berusaha agar menjadi yang terbaik, tapi sayang, usahaku hanya dipandang sebelah mata oleh kedua orang tuaku. Aku selalu berusaha untuk mempertahankan kedudukanku sebagai juara satu umum di sekolah, dan syukur alhamdulillah, Aku mampu mempertahankannya. Aku pun selalu berjuang agar dapat meraih juara dalam setiap perlombaan. Barangkali mata hati kedua orang tuaku telah ditutupi oleh kebencian yang mendalam pada diriku, sehingga selalu Aku yang disalahkan. Aku masih ingat ketika Mama memarahiku hanya karena sebuah baju, dan ketika adikku, Tiara, menangis. Pada saat itu, Aku seolah-olah menjadi tersangka utama dalam sebuah kasus pembunuhan. Dan, satu hal lagi yang takkan pernah Aku lupakan, yaitu tamparan Papa setahun silam. Hanya karena Aku mengatakan Mama pantas menderita penyakit kanker otak, tangan kiri Papa yang begitu berat mendarat di pipiku.
Sekarang, sel-sel kanker itu masih tetap bersemayam di otak Mama, bahkan telah mencapai stadium akhir. Tapi sayang, Mama menolak untuk melakukan operasi. Katanya, jika operasinya gagal, maka nyawa Mama adalah taruhannya. Jadi, beliau lebih memilih untuk menjalani terapi dan pengobatan jalan. Namun upaya Mama tak membawa dampak positif terhadap kesehatan Mama. Selama satu tahun itu, Mama hanya keluar masuk rumah sakit. Mungkin di mata orang, Aku adalah anak yang jahat, sebab selama Mama menjalani terapi dan pengobatan jalan, Aku tak pernah ada di sampingnya. Aku malah sibuk dengan urusanku sendiri. Pada waktu itu Aku merasa hubunganku dengan Mama dan Papa mulai renggang. Mama tak pernah lagi memanggilku untuk menyantap masakannya, Mama tak pernah mengkritik pakaiannya yang Aku kenakan, dan Mama pun tak pernah menegur apalagi memarahiku. Bahkan Papa pun tak pernah lagi menyindirku karena jarang shalat. Aku juga mulai berpikir, mungkin saja Mama dan Papa telah menyadari kesalahan mereka. Sehingga, pada suatu hari sebelum berangkat ke sekolah, Aku memutuskan untuk melihat keadaan Mama di kamarnya.
Aku tak mengetuk pintu sebelum memasuki kamar Mama dan Papa, toh pintunya tak dikunci.
“Siapa yang menyuruh kamu masuk ke kamar ini?” tanya Mama mengawali kedatanganku.
“Lho, memangnya nggak boleh?” tanyaku aneh
“Boleh, boleh sekali! Tapi tidak untuk anak durhaka sepertimu!” kecam Papa.
“Anak durhaka??” ucapku kaget.
“Ya, kamu anak durhaka. Kamu anak yang tak tahu diri. Kamu tak pernah mau peduli dengan Mama. Kamu selalu sibuk dengan urusanmu sendiri. Bahkan selama Mama menjalani terapi, kamu tak pernah ada di samping Mama. Jangankan itu, selama Mama dirawat di rumah sakit, Mama tak pernah melihat tanda-tanda kehadiranmu. Tega!” tutur Mama.
“Aku pikir Mama dan Papa telah menyadari kesalahan yang telah kalian lakukan terhadapku, ternyata dugaanku salah. Ma, kalau bicara soal tega, Mamalah yang paling tega. Tak pernah sekalipun Mama mempedulikan perasaanku. Setiap ada masalah di rumah ini, selalu Aku yang disalahkan. Semua yang Ku lakukan tak ada yang benar di mata Mama!” marahku pada Mama.
“Mama rasa Mama tak pernah berbuat kesalahan terhadapmu. Kamulah yang salah!” tegas Mama.
“Mama itu egois! Mama tahu? Mama tak pernah mempedulikan perasaanku. Mama seenaknya mengataiku. Mama tak sayang padaku? Yang Mama sayangi cuma Tiara. Sebenarnya Aku ini anak Mama? Atau bukan?”
“Kamu anak Mama, tapi kamu egois dan sombong! Lagian, Tiara juga masih kecil, jadi butuh perhatian lebih!” seru Mama.
“Aku bukan egois atau sombong, Aku hanya melakukan apa yang menjadi keiginanku. Kalau soal egois, justru Mama dan Papalah yang egois. Setiap pendapat yang Aku kemukakan selalu ditolak mentah-mentah oleh kalian. Apa itu bisa dikatakan orang tua yang baik?” tanyaku kasar.
“Pendapatmu tidak rasional! Terlalu melambung!” sambung Papa.
“Hhh, bilang saja kalian iri padaku. Iya kan? Dan Aku rasa, Mama pantas kena kanker otak. Itu karma untuk Mama!” tegasku.
“Apa? Rara! Mama tidak memohon untuk mendapat penyakit ini. Ini bukan karma!” kecam Mama.
“Patut Mama ketahui, Mama adalah orang tua terjahat yang pernah Aku temui. Mama tak menyayangiku! Aku benci Mama!” tangisku seraya meninggalkan kamar Mama.
“Mama sayang kamu, Nak! Itu semua Mama lakukan agar kamu dapat menjadi yang terbaik!” ucap Mama.
Namun Aku tak mendengar kata-kata terakhir dari Mama, sebab Aku tidak berada di kamar itu lagi.

O O O


Di sekolah, pada saat jam pelajaran pertama akan dimulai, Aku mendapat telepon dari Papa, bahwa selepas Aku keluar dari kamar Mama dan berangkat ke sekolah, Mama terus mengerang kesakitan di kepalanya hingga terkapar di lantai, dan sekarang Mama tengah berada di rumah sakit. Jujur, Aku kaget mendengar berita tersebut. Dengan segera Aku langsung berangkat ke rumah sakit.
Sesampaiku di rumah sakit, Ku dapati Mama tengah terbaring lemah di atas sebuah kasur putih di dalam sebuah ruangan putih. Pada dindingnya tak ada hiasan sama sekali, kecuali jam dinding yang juga berwarna putih. Ruangan yang Mama tempati telah disteril, tak sembarang orang boleh masuk. Kini, Aku hanya bisa memandang Mama dari balik kaca. Sedangkan Papa tak nampak di sana, barangkali sedang menemui dokter. Aku tak tahu apa yang harus Ku lakukan lagi. Karena tak sanggup menyaksikan kondisi Mama yang seperti itu, Aku lalu memutuskan untuk meninggalkan rumah sakit dan kembali ke sekolah.
“Kamu kenapa, Ra?” tanya Tari menghampiriku.
“Aku ngggak tahu, Tar. Aku bingung.” Jawabku singkat.
“Bingung? Bingung kenapa?” tanya Tari serius.
“Mamaku tengah sakit di rumah sakit, tapi Aku terus menyalahkannya.”
“Emangnya salah Mamamu apa?”
“Mama jahat! Ia selalu memarahiku. Aku selalu dikritik dalam segala hal. Setiap ada masalah, ujung-ujungnya Aku yang disalahkan. Ia tak mau tahu perasaanku. Kerjanya cuma marah, marah, dan marah!” keluhku.
“Dikritik, dalam hal apa?”
“Berpakaian. Semua yang Aku kenakan selalu nggak baik di matanya...”
“Cuma itu?” cibir Tari.
“Masih banyak. Katanya, cara makanku juga salah, cara belajarku juga salah, pokoknya semuanya salah deh. Tiara nangis, Aku juga yang kena. Rumah berantakan, Aku sasarannya! Aku bosan hidup, Tar!” terangku panjang.
“Ra, harusnya kamu bersyukur,” kata Tari sambil menepuk bahuku.
“Bersyukur? Kenapa harus bersyukur?” tanyaku dengan wajah yang kecut.
“Karena Mama kamu sangat sayang denganmu...” jawab Tari santai.
“Sayang? Kamu tuli ya, Tar? Atau kamu nggak paham dengan apa yang barusan Ku utarakan panjang lebar?”
“Aku nggak tuli, Ra. Aku juga paham dengan semua yang t’lah kamu katakan. Tapi Aku serius! Kamu itu harus bersyukur sama Allah karena masih diberi kesempatan untuk hidup bersama seorang Mama yang sangat sayang terhadapmu. Kritikan Mamamu selama itu bukan berarti ia tak sayang dan iri terhadapmu, justru sebaliknya. Ia sangat sayang padamu, sehingga ia tak ingin kamu berbuat menyimpang!” jelas Tari. “ Dulu Aku juga sempat jengkel sama Ibu, sebab ia selalu memarahiku karena jarang belajar. Aku bahkan pernah kabur dari rumah karena saking tak tahan dengan ocehan-ocehan Ibu. Namun, berpisah jauh dari Ibu membuat hatiku tersiksa. Maka dari itu Aku memutuskan untuk kembali ke rumah. Awalnya Aku mengira Ibu akan mengusirku dari rumah itu, tapi ternyata sebaliknya. Begitu Aku muncul di rumah, Ibu langsung menyambutku dengan pelukan hangatnya. Dan mulai saat itu, Aku berjanji agar mau rajin belajar dan tak ‘kan pernah membenci beliau, sebab Aku sadar, Aku tak bisa hidup tanpanya...” papar Tari dibarengi air mata.
Aku pun turut membendung air mata. Walaupun tak sampai tertumpah, tapi sekiranya cerita Tari mampu menyadarkanku atas kesa;ahan yang telah Aku lakukan terhadap kedua orang tuaku, terutama Mama.
“Jadi, apa yang harus Ku lakukan sekarang?” tanyaku dengan penuh harapan.
“Pergilah ke rumah sakit, dan minta maaflah atas semua kesalahanmu. Cepatlah Ra, sebelum semuanya terlambat!” pinta Tari.
“Baiklah, terima kasih banyak, Tar!”
Setelah mengucapkan terima kasih pada Tari, Aku langsung bergegas menuju rumah sakit. Kali ini, air mata bahagia menetes dari kedua mataku. Aku tak sabar lagi ‘tuk memeluk Mama, dan Aku pun ingin segera menatapnya dekat-dekat dan meminta maaf, bahkan bersujud dan mencium kakinya pun Aku mau. Aku rela jika nantinya Mama memarahiku, sebab Aku baru tahu ternyata Mama begitu menyayangiku. Aku pun sadar, kalau Mamaku adalah Ibu terbaik di muka bumi ini! Tak ada tandingannya! Aku belum pernah mendengar ada Ibu yang mengontrol anaknya seperti apa yang Mama lakukan terhadapku. Mengingatkanku sarapan, dan menjaga penampilan, kesehatan, serta akhlakku.
Tinggal beberapa meter lagi ojek yang Aku tumpangi akan sampai di rumah sakit Profesor Doktor Johanes, tempat di mana Mama dirawat.
“Nih, Pak...” ucapku seraya menyodorkan selembar uang lima ribu rupiah ketika turun dari sepeda motor. “Makasih ya Pak!”
“Iya, sama-sama De!” sahut Bapak itu sambil menjalankan sepeda motornya meninggalkan halaman rumah sakit.
Dengan langkah yang pasti dan wajah yang bersinar, Aku berjalan menuju kamar di mana Mama dirawat. Dari kejauhan, Aku merasa aneh, sebab kamar yang Ku tuju tak lagi tertutup. Pintunya terbuka, dan Aku melihat beberapa orang berpakaian perawat keluar dari ruangan itu dengan membawa peralatan medis yang nampaknya telah selesai digunakan.
“Jangan-jangan Mama sudah sembuh?” pikirku dalam hati.
Langkah kaki ini Ku percepat. Begitu ruangan itu Ku masuki, Aku tak melihat ada Mama yang tengah terbaring di atas kasur putih. Yang ada hanyalah Papa yang berdiri di samping kanan tempat tidur itu, seorang dokter serta dua perawat yang berdiri di samping kiri tempat tidur itu, dan kain putih yang telah menutupi sesuatu di atas kasur putih tersebut. Aku semakin bertambah heran. Semua yang ada di dalam ruangan hanya membisu, tak sepatah katapun keluar dari mulut mereka. Aku melangkah sekali lagi ke arah Papa.
“Pa, Mama mana?” tanyaku pelan.
Papa tak menjawab, ia hanya menggelengkan kepalanya dan menangis.
“Pa, Mama mana? Aku mau minta maaf pada Mama... Pa, Mama mana...?”
Namun Papa sama sekali tak merespon pertanyaanku. Ia hanya menangis dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Pa, jawab dong?” pintaku sambil melayangkan pandangan ke dokter dan dua orang perawat yang berada di samping kiri tempat tidur itu.
Tiba-tiba pandanganku berhenti pada juluran tasbih berwarna cokelat yang ada di balik kain putih itu. Aku kenal betul, tasbih itu milik Mama. Tanpa berkata-kata lagi, kain putih itu langsung Ku buka, dan pada saat itu juga Ku dapati sosok seorang wanita penuh kasih sayang dengan mata yang telah tertutup dan wajah pucat pasi berada di balik kain itu! Dan Dia adalah Mama!
“Maaaaaaaaamaaaaaa...” teriakku memecah keheningan di ruangan itu. “Ma, bangun Ma! Ma, Rara datang Ma! Ma, Rara mau minta maaf sama Mama! Mama, buka mata Mama dong. Mama marah sama Rara ya? Maa... Mama dengar Rara kan Ma? Mama jawab Rara Ma! Rara tahu Rara udah banyak salah sama Mama, untuk itu Rara datang untuk minta maaf. Tapi Mama tolong buka mata Mama. Peluk Rara, Ma! Ma...” tangisku sambil memeluk Mama yang tak bernafas lagi.
“Ra, Mama udah nggak ada! Yang tabah ya sayang,” bujuk Papa sambil merangkulku.
“Pa, Mama nggak boleh pergi! Rara belum sempat minta maaf sama Mama! Dok, sembuhin Mama, Dok!”
“Rara, Mama kamu udah tenang di sana. Dokter sudah berusaha maksimal membantu Mama kamu, namun Allah telah memanggilnya...” ujar Dokter itu.
“Pa, suruh Mama bangun, Pa!” ucapku pada Papa.
“Nggak bisa sayang!” tegas Papa.
“Mamaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!” teriakku.
“Ra, Mama sangat menyayangimu. Itu kata kata terakhir darinya..” terang Papa terbata-bata.
“Pa, tolong bilangin sama Mama kalau Rara juga sangat sayang Mama...” pintaku pelan.
Air mata tak henti-hentinya mengalir dari kedua mataku.
“Ma, Rara minta maaf Ma! Rara sangat menyayangi Mama. Mama boleh hukum Rara, dan Mama juga boleh marahi Rara. Rara tahu, Rara yang salah... Ma...”
“Udah, Ra!” bujuk Papa.
“Pa, Papa mau maafin Rara kan?”
“Iya, Papa maafin kok!” balas Papa.
“Ma, Papa aja mau maafin Rara, masa’ Mama tega nggak mau maafin Rara? Ma, bangun Ma...” isakku.
“Ra, udah sayang!’ pinta Papa.
“Maaaaaaaamaaaaaaaaaaaaa...”
Yah, Mama t’lah tiada. Seseorang yang sangat Aku sayangi t’lah pergi meninggalkanku dan tak ‘kan pernah kembali lagi. Aku baru sadar, bahwa ternyata Mama sangat menyayangiku. Banyaknya perhatian yang ia curahkan justru membuatku salah mengartikannya. Aku masih ingat, dulu ketika Mama masih ada, Aku selalu diingatkan untuk sarapan pagi, Aku selalu dikritik dalam berpakaian, dan Aku juga selalu dijaga dalam berkata dan bersikap. Kini, semua itu tinggal kenangan antara Aku dan Mama. Aku ingin sekali menghapus kesedihan ini, tapi sayang Aku tak mampu! Kepergian Mama meninggalkan duka dan luka yang mendalam bagiku. Sosok Mama yang tegar tak ‘kan pernah lagi Ku temui. Kasih sayang tulusnya yang begitu besar, kini harus hilang dimakan waktu. Kata-kata nasihat yang keluar dari mulutnya tak ‘kan pernah lagi tergiang di telingaku...
Aku sangat menyesal, sebab Aku belum sempat meminta maaf pada Mama dan mengatakan bahwa “Aku sangat menyayangi Mama!”
Aku baru sadar, ternyata Mama sangat berarti untukku!
Ya Allah, mengapa harus Aku yang mengalami semua ini?




Amanat cerita di atas:
Ibu adalah seseorang yang rela mempertaruhkan hidup dan matinya hanya untuk kita, anaknya.
Siang dan malam hanya ia habiskan bersama kita.
Ia tak mengenal kata “lelah”...
Kasih sayangnya terus mengalir sepanjang masa...
Begitupun dengan Ayah.
Ia rela membating tulang demi menghidupi keluarga...
Untuk itu, sebagai anak yang shaleh dan shaleha, hargai dan sayangilah Ibu dan Ayah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar